Senyum ini untuk seseorang di ujung hati
Yang menanti tak pernah henti
Untuk ku jemput dengan cinta suci
Tak bertepi, tak tertandingi
Ku tahu ia rasakan hadirku
Di setiap hembusan nafasnya
Di setiap mimpi-mimpi indahnya
Di segala langkah asmaranya
Namun...
Sabarlah kau yang di sana
Ini adalah masa penantian
Dimana kita diberi kesempatan
Untuk membuat sebuah persiapan
Tak perlu kita risau
Saat-saat itu sudah terpancang
Kita hanya menunggu waktu
Untuk saling mengerti
Untuk saling memantapkan diri
Bila telah usai segala upaya
Kau lah yang akan kutuju
Jodohku...
***"Green Ring"***
Kamis, 31 Oktober 2013
Rabu, 30 Oktober 2013
Hibah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu dari anjuran agama Islam adalah
tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong
itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah
satu di antaranya adalah hibah.
Hibah ada dengan huruf ha di-kasrah
dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik)
sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
Hibah ini Memiliki fungsi sosial dalam
kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup
banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabatnya
memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
apa saja yang berkenaan dengan hibah, di antaranya tentang rukun dan syarat
hibah, dasar hukum hibah, pelaksanaan hibah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
dibahas di sini adalah:
1.
Pengertian Hibah
2.
Dasar Hukum Hibah
3.
Ruju’ di Dalam Hibah
4.
Rukun dan Syarat Sahnya Hibah
5.
Pelaksanaan Hibah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah) adalah dengan huruf ha
di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik)
sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti. Secara etimologis
berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah
disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.
Para ulama pemakna memberikan pengertian
yang lebih lugas diantaranya pendapat dari Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa
hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.
Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa
adanya imbalan. Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang
bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra
prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan
pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan penerima ini
kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
Dari segi bentuknya, hibah ini berbentuk
materi atau barang yang bisa bertahan lama. Sedangkan dari Obyek yang diberinya
bersifat perorangan bukan perkumpulan atau organisasi. dari segi macamnya ialah
terbagi menjadi dua yaitu: pertama, hibah benda, yaitu menghibahkan
suatu benda untuk memilikinya. Kedua hibah manfaat, yaitu menghibahkan
manfaat suatu benda/barang tetapi status kepemilikannyatetap pada si pemberi.
B. Dasar Hukum Hibah
Hibah hukumnya sunnah, dan lebih utama
menghibahkan sesuatu kepada kaum keluarga. dalam pemberian hibah ini diperlukan
ijab qabul, dan dan sebaiknya dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi
dan dibuktikan dengan bentuk tulisan. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari
gugatan ahli waris. walaupun hal semacam ini tidak disyaratkan menurut syara’,
namun dalam keadaan seperti sekarang ini, saksi dan bukti secara tertulis
sangat diperlukan.
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani
hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
hadits Khalid bin Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai
berikut :
"Barangsiapa
mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan
meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia
adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
- Rukun dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib
terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah). Rukun hibah adalah sebagai berikut :
1. Penghibah (wahib) , yaitu orang yang memberi hibah
2. Penerima hibah (mauhub lahu), yaitu orang yang menerima pemberian
3. Benda yang dihibahkan (mauhub)
4. Ijab dan kabul.
Syarat - syarat yang harus dipenuhi
agar suatu hibah sah adalah :
1. Syarat-syarat bagi penghibah
- Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
- Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
- Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
- Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah (dilakukan atas kemauannya sendiri).
Apabila
seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana
sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan
hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris
mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak
sah.
2.
yarat-syarat penerima hibah
a.
Terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah (ijab qabul). Orang yang mati
atau hilang tidak sah menerima hibah.
b.
Benar-benar berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan. bayi yang dalam
kandungan misalnya tidak sah menerima hibah.
c.
Apabila saat diberi hibah, masih kecil, maka walinya bisa menggantikannya
sementara.
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang
benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan
benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak
dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti
setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan
keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam
kandungan adalah tidak sah.
3.
Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a.
Benda tersebut benar-benar ada.
b.
Benda tersebut mempunyai nilai.
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan
pemilikannya dapat dialihkan.
d.
Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima
hibah.
4.
Ijab Kabul
a.
Jelas dan ada wujudnya/tidak samar
b.
Mempunyai nilai atau harga tertentu dan manfaat
c.
Barang yang dihibahkan benar-benar milik orang yang menghibahkan secara
mutlak.
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya
pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut
beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul,
misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu",
lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu". Sedangkan
Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan
pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
- Hibah Maridhil Maut
Yang dimaksud dengan hibah maridhil maut adalah orang yang sakit
menjelang kematian. orang yang sakit menjelang ajal memberikan sesuatu kepada
orang lain, maka hukumnya seperti wasiat, yaitu penerimanya harus bukan ahli
waris dan jumlahnya tidak lebih 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki pemberi
wasiat.
Apabila yang menerima hibah itu ahli waris, maka hibah
tersebut tidak sah, karena sama dengan wasiat. sedangkan dalam islam tidak ada
wasiat harta untuk ahli waris. demikian pula jika hibah orang menjelang ajal
yang akan diberikan kepada orang yang bukan ahli waris lebih dari 1/3, maka
yang harus diberikan kepada penerima hibah 1/3 saja. selebihnya milik ahli
waris.
Apabila seseorang menghibahkan harta kepada orang lain,
lalu orang yang memberikan itu meninggal dunia dan harta peninggalannya
dibegikan kepada ahli waris, karena ahli waris mendakwa bahwa pemberian hibah
pada saat almarhum sakit, sedangkan orang yang diberi hibah menyatakan bahwa
pemberian hibah dilakukan pada saat almarhum sehat, maka ynag dibenarkan adalah
orang yang menerima hibah, karena pada saat itu pemberi hibah dapat membelanjakan
harta.
Apabila pemberian hibah itu menimbulkan pertengkaran di
antara ahli waris, maka hibahnya itu dapat batal.
- Hibah Kepada Anak
Hibah yang utama adalah kepada kaum kerabat/keluarga dan
sangat dekat adalah anak dengan tetap menjaga keadilan di antara mereka. Allah
SWT. berfirman:
Artinya
:
”Dan
memberikan harta benda yang dikasihi kepada keluarganya, kepada anak-anak
yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan serta kepada orang-orang
yang minta (karena tidak punya).” (Qs. Al-Baqarah: 177)
Memberi hibah kepada anak-anak harus
tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan. Adil tidak berarti sama rata sama rasa.
mungkin saja memberikan sesuatu yang sama pada anak-anak yang berbeda, bisa menjadi
tidak adil. perintah berlaku adil ini sebagaimana sabda Nabi saw.:
Artinya:
”Dari
Nu’man Rasulullah saw. bersabda: ”berbuat adillah di antara anak-anakmu,
berbuat adillah di antara anak-anakmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i)
Perlakuan tidak adil dalam
menghibahkan harta kepada anak adalah batal. Melihat kebutuhan anak-anak itu
berbeda, maka sebenarnya boleh berbeda pula jumlah pemberian yang diberikan. ini
termasuk adil pula. Rasulullah bersabda:
Artinya
:
”Samakanlah
pemberian kepada anak-anakmu. Apabila hendak melebihkan salah seorang, maka
lebihkanlah bagi wanita.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Jumhur ulama, Imam Syafi’i, Imam
Malik dan pengikut Hanafi mengatakan bahwa menyamakan pemberian antara
anak-anak hukumnya sunah, sedangkan membedakan mereka hukumnya makruh.
- Penguasaan Orangtua Atas Hibah Untuk Anak
Yang dimaksud penguasaan di sini adalah penarikan atau
pencabutan kembali. yaitu penarikan dan pencabutan hibah orangtua yang telah
menghibahkan sebagian atau sekuruh hartanya kepada anak-anaknya, karena ada
sebab, misalnya bisa menimbulkan bencana atau fitnah atau akibat-lainnya. hal
ini adalah pengecualian, sebab apa yang telah dihibahkan tidak boleh ditarik
kembali. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya
:
”Dari
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. bersabda: ”tidak halal bagi
seseorang memberikan sesuatu pemberian, lalu ia meminta kembali pemberiannya
itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian kepada anaknya.” (HR. Ahmad dan
Imam Empat)
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang
tua boleh menguasai barang yang di hibahkannya kepada anaknya yang masih kecil
dan berada dalam perwaliannya, atau kepada anaknya yang sudah dewasa tetapi
lemah akalnya. atau boleh mencabut pemberian ini jika barang atau menfaatnya
belum diterima oleh yang diberi hibah. misalnya Nabi saw. pernah memberikan 30
buah minyak kasturi kepada Raja Najasi. Tetapi Najasi sudah meninggal sebelum
menerima pemberian dari Nabi. Maka Nabi mencabut kembali pemberiannya.
- Hukum Pencabutan Hibah
Jumhur ulama sepakat, bahwa mencabut hibah yang telah
diberikan hukumnya haram, meskipun dilakukan antara saudara atau suami istri. Rasulullah
saw. bersabda:
Artinya :
”Dari
Abdullah Ibnu Amr dari Rasulullah saw. bersabda: ”Perumpamaan seseorang yang mencabut
kembali apa yang telah dihibahkan adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahannya itu.” (HR. Abu Dawud)
Perumpamaan yang sangat keji dan
menjijikkan bagi orang yang telah menghibahkan sesuatu kemudian mencabut
kembali sebagaimana tergambar dalam hadits di atas merupakan isyarat keharaman
perbuatan tersebut. lebih-lebih, kalau tanpa alasan atau karena keserakahan
untuk menguasai kembali. itu adalah perbuatan yang sangat tercela. mungkin saja
berakibat munculnya permusuhan, pertikaian bahkan mungkin pembunuhan sesama
manusia.
Pencabutan diperbolehkan bila ada
hal-hal yang membolehkannya, antara lain:
1.
Pencabutan hibah seorang ayah
dari anaknya, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
2.
Hibah yang diberikan itu belum
sampai kepada orang yang diberi, disebabkan karena orang yang diberi hibah
sudah meninggal terlebih dahulu.
- Pelaksanaan Hibah
Pelaksanaan hibah menurut ketentuan
syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang
dihibahkan.
2.
Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3.
Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali
oleh si pemberi hibah.
4.
Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi
(hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa
dibelakang hari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara sederhana hibah adalah merupakan
suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa
ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu
dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan
penerima ini kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian
bilateral).
Berkaitan dengan fungsi hibah sebagai
fungsi sosial, maka Nabi Muhammad SAW. melarang keras untuk menarik kembali
hibah yang sudah diberikan danhukumnya haram, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya. Hal ini dapat difahamibahwa hibah yang ditarik kembali akan
menimbulkan kebencian dan merusakhubungan sosial. Perumpamaan hibah yang
ditarik kembali sebagaimana yangdinyatakan Nabi Muhammad SAW adalah seperti
seekor anjing yang menjilati air liur yang sudah dimuntahkannya, sungguh suatu
perumpamaan yang tidak menyenangkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rasyid, Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru
Sabiq, Sayid. 1988. Fikih Sunnah Jilid 14. Bandung: PT.
Al-Ma'arif
Pasaribu, H. Chairuman Drs dan Suhrawardi K. Lubis SH. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: sinar Grafika
Senin, 21 Oktober 2013
Do not be Weary Expect
Percayalah...
Apa yang kau lihat itu kelabu
Apa yang kamu dengar itu hanya angin
Yang nyata adalah...
Saat Allah memberimu rasa untuk mencintainya
Saat Allah memberimu mimpi untuk bersamanya
Pastikan kemana kau akan berpijak
Yakini pilihan hatimu
Jangan biarkan ragu membelenggu
Percayalah...
Saat kau mengingatnya
Saat itu juga dia mengingatmu
Saat kau yakin kemana kau akan melangkah
Saat itu juga dia telah berdiri menunggumu.
Percayalah...
Rasa sayangnya adalah cinta
Mencintaimu adalah hal terindah baginya
Doa adalah cara dia meminta cinta
Setia adalah bukti dari keyakinannya
****..."Green Ring"...****
Psikologi Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana
diketahui dalam perkembangan manusia, manusia mengalami dua macam perkembangan
yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur
berdasarkan umur kronologis, puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia
disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan (Abilitas), pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan
rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Dalam
makalah ini kami mencoba untuk memaparkan kriteria orang yang matang beragama
yang erat kaitannya dengan perkembangan manusia yang semua itu akan dijelaskan
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini
mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian kematangan beragama ?
- Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia?
- Bagaimana ciri-ciri dan sikap keberagamaan?
- Seperti apa dan bagaimana mistisisme dan psikologi agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Matang Beragama
Manusia
mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani.
Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan
jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani
diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas
tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan
seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada
nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah
laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat
dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut
suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena
itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam
sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B.
Faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan Kepribadian Manusia
Seperti
halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai
diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan
perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat
kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir,
kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara
kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan
sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara
rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan
pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan
dalam perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak
dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun
factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah:
konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan
mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus),
emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya
perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya
yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluargaa, sekolah (Singgih
D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi
perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu
dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta
berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma
yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja
sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang
merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan
kematangan beragama.
Dalam
kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi
oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi
seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan
seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri
tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
C.
Ciri-ciri dan Sikap Keberagamaan
Dalam
bukunya “The Varieties Of Religious Experience” William James menilai secara
garis besarnya sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua
type, yaitu: type orang yang sakit jiwa, type orang yang sehat jiwa. Kedua type
ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda:
1.
Ciri orang yang sakit jiwa (The Sick
Soul)
Menurut
Wiliiam James sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka
yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Latar
belakan itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan sikap yang mendadak
terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang
mereka alami sebelumnya, William James menggunakanistilah “The Suffering”.
William
Starbuck, seperti yang dikemukakan oleh William James berpendapat bahwa
penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua factor utama yaitu: factor intern
dan factor ekstern. Alasan ini pula tampaknya yang menyebabkan dalam psikologi
agama dikenal dua sebutan yaitu The Sick Soul dan The Suffering, type yang
pertama dilatar belakangi oleh factor intern (dalam diri), sedangkan yang kedua
adalah karena factor ekstern (penderitaan).
a. Faktor intern yang diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap
keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:
·
Temperamen
Temperamen
merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat
tercermin dari kehidupan jiwa orang-orang yang melancholis akan berbeda dengan
orang yang berkepribadian displastis dalam sikap dan pandangannya terhadap
ajaran agama.
·
Gangguan Jiwa
Orang
yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah
lakunya. Tindak tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya
tergantung dari gangguan jiwa yang mereka idap.
·
Konflik dan Keraguan
Konflik
kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap
keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama seperti taat, fanatic atau agnostic hingga keateis.
·
Jauh dari Tuhan
Orang
yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya
lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan, hal ini menyebabkan
terjadi semacam perubahan sikap pada dirinya.
Adapun
ciri-ciri tidak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya
cenderung menampilkan sikap: pesimis, introvert, menyayangi paham yang
ortodoks, mengalami proses keagamaan secara nograduasi.
b. Faktor ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan
secara mendadak, adalah:
·
Musibah
Terkadang
musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang, keguncangan ini
sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran.
Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama
yang cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan bagi dirinya.
Akibat musibah seperti itu tak jarang pula menimbulkan perasaan menyesal yang
mendalam dan mendorong mereka untuk mematuhi ajaran agama secara
sungguh-sungguh.
·
Kejahatan
Mereka
yang menekuni kehidupan dilingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun
sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa
berdosa.
2.
Type orang yang sehat jiwa (Healty Minded
Ness)
Ciri
dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W.Starbuck yang dikemukakan
oleh W.Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan gembira
Orang
yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.
Pahala menurut pandangannya adalah hasil jerih payahnya yang diberikan Tuhan.
- Ekstrovet dan tak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka
mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses
agamis tindakannya. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang
keliru.
- Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai
pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
·
Menyenangi theology yang luwes dan
tidak baku
·
Menunjukkan tingkah laku keagamaan
yang lebih bebas
·
Menekankan ajaran cinta kasih
daripada kemurkaan dan dosa
·
Bersifat liberal dalam menafsirkan
pengertian ajaran Islam
·
Selalu berkembang positif
·
Berkembang secara graduasi, dll
D.
Mistisisme dan Psikologi Agama
Menurut
Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam
islam adalah tasyawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam
agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam (Harun
Nasution: 56). Sebagaimana halnya mistisisme, tasyawuf atau sufisme mempunyai
tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisarinya adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan
dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun Nasution: 56). Kesadaran
berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri
khas Mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah
kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran
yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai
kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu
dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme
dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama
dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah
tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan
demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya
untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada
tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut.
Mistisisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh
mistik, baik yang teistik maupun nonteistik.
1. Sejarah Perkembangan Aliran Kepercayaan
Dalam
memaparkan sejarah perkembangan ini kami mengetengahkan intisari dari uraian
Prof. Selo Sumartjan dalam simpusium mengatakan “sila ketuhanan yang maha esa”
tanggal 14 Februari 1966 di Jakarta.
Dalam
evolusi system-sistem kepercayaan diuraikan sebagi berikut:
Manusia
dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan yaitu lingkungan alam dan lingkungan
masyarakat. Lingkungan alam meliputi: benda organis dan anorganis yang hidup
disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang berada
disekitarnya.
Didorong
oleh keinginan untuk mempertahankan hidupnya, maka timbul keinginan mereka
untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan dan membinasakan
mereka. Berdasarkan kondisi social budaya yang mereka miliki dicarilah usaha
untuk menguasai alam dengan kekuatan ghaib sejalan dengan kekuatan alam yang
bagi mereka merupakan kekuatan ghaib.
Perkembangan
itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum berkembang
menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi perdukunan. Perkembangan
masyarakat pada kenyataan selalu membawa bekas dari unsur generasi terdahulu.
Demikian pula perkembangan kepercayaan dari tahap politeisme menjadi
monoteisme.
2. Hal-hal yang Termasuk Mistisisme
a. Ilmu Ghaib
Yang
dimaksud dengan ilmu ghaib disini adalah cara-cara dan maksud menggunakan
kekuatan-kekuatan yang diduga ada dialam ghaib, yaitu yang tidak dapat diamati
oleh rasio dan pengalaman fisik manusia.
Berdasarkan
fungsinya kekuatan ghaib itu dapat dibagi menjadi:
·
Kekuatan ghaib hitam (black
magic), untuk dan mempunyai pengaruh jahat
·
Kekuatan ghaib merah (red magic),
untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan orang lain (hypotisme)
·
Kekuatan ghaib kuning (yellow
magic), untuk praktek occuitisme
·
Kekuatan ghaib putih (white magic),
untuk kebaikan
b. Magis
Mistis
ialah suatu tindakan dengan anggapan bahwa kekuatan ghaib bisa mempengaruhi
duniawi secara nonkultus dan nonteknis berdasarkan kenangan dan pengalaman.
Untuk menjelaskan hubungan antara unsure-unsur kebatinan ini kita pertentangkan
magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya.
·
Magic dan tahayul
Orang
percaya bahwa untuk membunuh seseorang dapat dipergunakan bagian yang berasal
dari tubuh orang yang dimaksud. Misalnya tindakan membunuh dan membakar rambut
dan kuku agar seseorang mati (magis) dan penggunaan rambut dan kuku sebagai
alat pembunuh (Tahayul).
·
Magic dan ilmu ghaib
Seperti
contoh diatas jika meleui suatu proses pengolahan tertentu secara irrasional
tergolong ilmu ghaib.
·
Magis dan kultus
Jika
dihubungkan dengan kultus maka magis merupakan perbuatan yang dianggap
mempunyai kekuaan memaksa kehendak kepada supernatural (Tuhan). Kultus
merupakan perbuatan yang terbatas pada mengharap dan mempengaruhi supernatural
(Tuhan).
c. Kebatinan
Ilmu
kebatinan umumnya bermaksud untuk menemukan jalan yang dapat menempatkan
manusia pada tempat yang sewajarnya ditengah-tengah masyarakat didunia dan juga
dalam hubungannya dengan Tuhan. Ilmu kebatinan memberikan ajaran kepada para
penganutnya tentang bagaimana mereka masing-masing dapat hidup secara harmonis
yang mengandung keterangan dan rasa damai dengan masyarakat serta dengan
Tuhannya melalui pengalaman syarat-syarat ilmunya.
d. Para psikologi
Menurut ilmu jiwa
gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:
1. Gejala jiwa yang normal (yang terdapat pada orang yang normal)
2. Gejala jiwa yang annormal terdiri dari:
·
Gejala jiwa supranormal: yang
terdapat pada tokoh=tokoh pemimpin yang terkenal dan jenius
·
Gejala jiwa paranormal: gejala
jiwa yang terdapat pada manusia normal dengan beberapa kelebihan yang
menyebabkan beberapa kemampuan berupa gejala-gejala yang terjadi tanpa melalui
sebab akibat panca indera.
·
Gejala jiwa ubnormal: gejala jiwa
yang menyimpang dari gejala biasa karena beberapa gangguan (sakit jiwa)
Para (disamping) psikologi meneliti ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang gejala-gejala jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera
serta perubahan-perubahan yang bersifat fisik yang digerakkan oleh jiwa tanpa
menggunakan kekuatan yang terkait dalam tubuh manusia.
e. Aliran kebatinan dan Schizophrenia
Yang
menggerakkan seseorang untuk memasuki aliran kebatinan ada berbagai motif
kejiwaan, misalnya: ingin tahu, rasa tidak aman, kurang percaya pada diri
sendiri ataupun ingin memperdalam ajaran suatu aliran kebatinan.
Dalam
aliran kebatinan dikenal suatu cara meditasi yang mengarah kekehidupan mistik,
menurut Evely Underhill stadium meditasi itu umumnya
adalah:
·
Kebangunan diri pribadi kearah
realitas ketuhanan
·
Purgation, yaitu suatu stadium
kesediaan dan usaha
·
Illumination, yaitu stadium
kegembiraan yang sebenarnya menjurus kesatu eksaltasi
·
Purifikasi, yaitu kesempurnaan
pribadi
·
Persatuan dan kehidupan absolute
Jika
dianalisis secara psikologis dan urutan stadium meditasi tersebut tampak
gejala-gejala kejiwaan sebagai berikut:
·
Respon terhadap dunia luar
menyempit (mengasingkan diri dan konsentrasi jiwa)
·
Timbulnya eksaltasi dan kesedihan
yang mendalam
·
Terdapat gejala disosiasi,
halusinasi dan waham
· Terdapat kebekuan dorongan berbuat,
hilang kemampuan penerimaan rangsangan dan keinginan untuk menilai keadaan
lingkungan.
Ditinjau
dari gejala penderita schizophrenia, maka tampat ciri-ciri yang hampir sama.
Penderitaan schizophrenia (schizoprenik) mengalami gejala-gejala:
·
Kekaburan individualitas yang
disebabkan oleh proses disintegrasi kepribadian
· Dengan adanya disintegrasi itu
penderita memiliki predisposisi khusus yang cenderung untuk menafsirkan sesuatu
yang kadang-kadang irrealistik dan melakukan tindakan yang asosial.
·
Timbulnya halusinasi yang
menyebabkan terjadinya Anxienty yang hebat sehingga dapat menimbulkan frustasi
dan panicreaction serta perbuatan nekad.
William
James dalam buku “The Varieties Of Religious Experience” mengemukakan
tanda-tanda mistisisme sebagai berikut:
·
Tak dapat diungkapkan
(ineffability)
·
Intustif (neutik quality)
·
Sementara dan cepat (tran siency)
·
Cenderung kearah kepasifan
(passivity)
f.
Tasyawuf dan tariqat
Tasyawuf
disebut juga mistisisme, islam memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berarti dihadirat Tuhan. Menurut
Harun Nasution intisari dari mistisisme (termasuk tasyawuf) ialah kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Untuk berada dekat dengan Tuhan orang
harus menempuh jalan yang panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut
muqamat.
Pelaksanaan
tariqat itu diantaranya:
1. Zikir, yaitu ingatan yang menerus kepada
Allah dalam hati, serta menyebut namanya dengan lisan
2.
Rahb, yaitu menyebut kalimat “Laa Ilaaha
Illallah” dengan gaya
gerak dan irama tertentu
3.
Muzik, yaitu dengan membaca wirid
diiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan supaya lebih khidmat.
4.
Bernafas, yaitu mengatur nafas pada waktu
melakukan zikir tertentu.
Tarikat
itu pada mulanya adalah tasyawuf dan kemudian berkembang dengan berbagai faham
dan aliran yang dibawa oleh para syekhnya dan kemudian melembaga menjadi suatu
organisasi yang disebut tarikat.
Tasyawuf
atau mistisisme menurut Harun Nasution dijumpai dalam setiap agama, mereka yang
bergabung dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan cara melakukan pensucian jiwa. Tuhan sebagai dzat yang maha suci hanya
mungkin didekati oleh manusia yang suci pula, kesucian bersifat rohaniah. Makanya
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan melalui proses pensucian jiwa.
Sebagai unsure spiritual (Rohaniah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan tentang
criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab masalah
tersebut dengan terlebih dahulu memahami: pengertian matang beragama, factor
yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, ciri-ciri dan sikap
keberagamaan, mistisisme dan agama.
Jadi
kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya
agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang
baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seorang yang
sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti
kematangan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi
perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya
tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa,
tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr. 2002. Psikologi Agama Edisi Refisi 2002.
Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
H. Ramayulis, Prof. Dr. 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Nasution Harun. 1973. Filsafat Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Langganan:
Postingan (Atom)