Selamat Datang

Rabu, 30 Oktober 2013

Hibah



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah hibah.
Hibah ada dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
Hibah ini Memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabatnya memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai apa saja yang berkenaan dengan hibah, di antaranya tentang rukun dan syarat hibah, dasar hukum hibah, pelaksanaan hibah.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah:
1.      Pengertian Hibah
2.      Dasar Hukum Hibah
3.      Ruju’ di Dalam Hibah
4.      Rukun dan Syarat Sahnya Hibah
5.      Pelaksanaan Hibah


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti. Secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.
Para ulama pemakna memberikan pengertian yang lebih lugas diantaranya pendapat dari Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan penerima ini kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
Dari segi bentuknya, hibah ini berbentuk materi atau barang yang bisa bertahan lama. Sedangkan dari Obyek yang diberinya bersifat perorangan bukan perkumpulan atau organisasi. dari segi macamnya ialah terbagi menjadi dua yaitu: pertama, hibah benda, yaitu menghibahkan suatu benda untuk memilikinya. Kedua hibah manfaat, yaitu menghibahkan manfaat suatu benda/barang tetapi status kepemilikannyatetap pada si pemberi.
 B.     Dasar Hukum Hibah
Hibah hukumnya sunnah, dan lebih utama menghibahkan sesuatu kepada kaum keluarga. dalam pemberian hibah ini diperlukan ijab qabul, dan dan sebaiknya dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan dibuktikan dengan bentuk tulisan. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari gugatan ahli waris. walaupun hal semacam ini tidak disyaratkan menurut syara’, namun dalam keadaan seperti sekarang ini, saksi dan bukti secara tertulis sangat diperlukan.
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".

  1. Rukun dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah). Rukun hibah adalah sebagai berikut :
1.      Penghibah (wahib) , yaitu orang yang memberi hibah
2.      Penerima hibah (mauhub lahu), yaitu orang yang menerima pemberian
3.      Benda yang dihibahkan (mauhub)
4.      Ijab dan kabul.
 
Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
1.      Syarat-syarat bagi penghibah
    1. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
    2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
    3. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
    4. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah (dilakukan atas kemauannya sendiri).
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.
2.      yarat-syarat penerima hibah
a.       Terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah (ijab qabul). Orang yang mati atau hilang tidak sah menerima hibah.
b.      Benar-benar berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan. bayi yang dalam kandungan misalnya tidak sah menerima hibah.
c.       Apabila saat diberi hibah, masih kecil, maka walinya bisa menggantikannya sementara.
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
3.      Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a.       Benda tersebut benar-benar ada.
b.      Benda tersebut mempunyai nilai.
c.   Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.
d.      Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

4.      Ijab Kabul
a.       Jelas dan ada wujudnya/tidak samar
b.      Mempunyai nilai atau harga tertentu dan manfaat
c.       Barang yang dihibahkan benar-benar milik orang yang menghibahkan secara mutlak.
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu". Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
 
  1. Hibah Maridhil Maut
Yang dimaksud dengan hibah maridhil maut adalah orang yang sakit menjelang kematian. orang yang sakit menjelang ajal memberikan sesuatu kepada orang lain, maka hukumnya seperti wasiat, yaitu penerimanya harus bukan ahli waris dan jumlahnya tidak lebih 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki pemberi wasiat.
Apabila yang menerima hibah itu ahli waris, maka hibah tersebut tidak sah, karena sama dengan wasiat. sedangkan dalam islam tidak ada wasiat harta untuk ahli waris. demikian pula jika hibah orang menjelang ajal yang akan diberikan kepada orang yang bukan ahli waris lebih dari 1/3, maka yang harus diberikan kepada penerima hibah 1/3 saja. selebihnya milik ahli waris.
Apabila seseorang menghibahkan harta kepada orang lain, lalu orang yang memberikan itu meninggal dunia dan harta peninggalannya dibegikan kepada ahli waris, karena ahli waris mendakwa bahwa pemberian hibah pada saat almarhum sakit, sedangkan orang yang diberi hibah menyatakan bahwa pemberian hibah dilakukan pada saat almarhum sehat, maka ynag dibenarkan adalah orang yang menerima hibah, karena pada saat itu pemberi hibah dapat membelanjakan harta.
Apabila pemberian hibah itu menimbulkan pertengkaran di antara ahli waris, maka hibahnya itu dapat batal.

  1. Hibah Kepada Anak
Hibah yang utama adalah kepada kaum kerabat/keluarga dan sangat dekat adalah anak dengan tetap menjaga keadilan di antara mereka. Allah SWT. berfirman:

 Artinya :
”Dan memberikan harta benda yang dikasihi kepada keluarganya, kepada anak-anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan serta kepada orang-orang yang minta (karena tidak punya).” (Qs. Al-Baqarah: 177)
            Memberi hibah kepada anak-anak harus tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan. Adil tidak berarti sama rata sama rasa. mungkin saja memberikan sesuatu yang sama pada anak-anak yang berbeda, bisa menjadi tidak adil. perintah berlaku adil ini sebagaimana sabda Nabi saw.:
Artinya:
”Dari Nu’man Rasulullah saw. bersabda: ”berbuat adillah di antara anak-anakmu, berbuat adillah di antara anak-anakmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i)

           Perlakuan tidak adil dalam menghibahkan harta kepada anak adalah batal. Melihat kebutuhan anak-anak itu berbeda, maka sebenarnya boleh berbeda pula jumlah pemberian yang diberikan. ini termasuk adil pula. Rasulullah bersabda:
Artinya :
”Samakanlah pemberian kepada anak-anakmu. Apabila hendak melebihkan salah seorang, maka lebihkanlah bagi wanita.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
            Jumhur ulama, Imam Syafi’i, Imam Malik dan pengikut Hanafi mengatakan bahwa menyamakan pemberian antara anak-anak hukumnya sunah, sedangkan membedakan mereka hukumnya makruh.

  1. Penguasaan Orangtua Atas Hibah Untuk Anak
Yang dimaksud penguasaan di sini adalah penarikan atau pencabutan kembali. yaitu penarikan dan pencabutan hibah orangtua yang telah menghibahkan sebagian atau sekuruh hartanya kepada anak-anaknya, karena ada sebab, misalnya bisa menimbulkan bencana atau fitnah atau akibat-lainnya. hal ini adalah pengecualian, sebab apa yang telah dihibahkan tidak boleh ditarik kembali. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
”Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. bersabda: ”tidak halal bagi seseorang memberikan sesuatu pemberian, lalu ia meminta kembali pemberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian kepada anaknya.” (HR. Ahmad dan Imam Empat)
            Jumhur ulama berpendapat bahwa orang tua boleh menguasai barang yang di hibahkannya kepada anaknya yang masih kecil dan berada dalam perwaliannya, atau kepada anaknya yang sudah dewasa tetapi lemah akalnya. atau boleh mencabut pemberian ini jika barang atau menfaatnya belum diterima oleh yang diberi hibah. misalnya Nabi saw. pernah memberikan 30 buah minyak kasturi kepada Raja Najasi. Tetapi Najasi sudah meninggal sebelum menerima pemberian dari Nabi. Maka Nabi mencabut kembali pemberiannya.
 
  1. Hukum Pencabutan Hibah
Jumhur ulama sepakat, bahwa mencabut hibah yang telah diberikan hukumnya haram, meskipun dilakukan antara saudara atau suami istri. Rasulullah saw. bersabda:
           
Artinya :
”Dari Abdullah Ibnu Amr dari Rasulullah saw. bersabda: ”Perumpamaan seseorang yang mencabut kembali apa yang telah dihibahkan adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu.” (HR. Abu Dawud)
            Perumpamaan yang sangat keji dan menjijikkan bagi orang yang telah menghibahkan sesuatu kemudian mencabut kembali sebagaimana tergambar dalam hadits di atas merupakan isyarat keharaman perbuatan tersebut. lebih-lebih, kalau tanpa alasan atau karena keserakahan untuk menguasai kembali. itu adalah perbuatan yang sangat tercela. mungkin saja berakibat munculnya permusuhan, pertikaian bahkan mungkin pembunuhan sesama manusia.

            Pencabutan diperbolehkan bila ada hal-hal yang membolehkannya, antara lain:
1.      Pencabutan hibah seorang ayah dari anaknya, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
2.      Hibah yang diberikan itu belum sampai kepada orang yang diberi, disebabkan karena orang yang diberi hibah sudah meninggal terlebih dahulu.

  1. Pelaksanaan Hibah
Pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2.      Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3.      Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
4.      Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.

 
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan penerima ini kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
Berkaitan dengan fungsi hibah sebagai fungsi sosial, maka Nabi Muhammad SAW. melarang keras untuk menarik kembali hibah yang sudah diberikan danhukumnya haram, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hal ini dapat difahamibahwa hibah yang ditarik kembali akan menimbulkan kebencian dan merusakhubungan sosial. Perumpamaan hibah yang ditarik kembali sebagaimana yangdinyatakan Nabi Muhammad SAW adalah seperti seekor anjing yang menjilati air liur yang sudah dimuntahkannya, sungguh suatu perumpamaan yang tidak menyenangkan.

 
DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru
Sabiq, Sayid. 1988. Fikih Sunnah Jilid 14. Bandung: PT. Al-Ma'arif
Pasaribu, H. Chairuman Drs dan Suhrawardi K. Lubis SH. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: sinar Grafika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar