BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup
seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum
yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum
taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait)
dengan hukum wad’i (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah
dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih
disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib
dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang
di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf), berikut penjelasan
masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini
mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan mahkum fih ?
- Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mahkum Fih
1. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek
hukum, sebagian ulama menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam perbuatan
atau peristiwa itulah ada huku baik hukum wajib maupun hukum haram. Sebagia
ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu
bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah ataupun larangan.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud
dengan Mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang
terkait dengan perintah Allah dalam aturan agama islam, baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan,
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Para
ulama sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan
mukallaf. Dia terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Contoh:
- Firman Alloh dalam surat al baqarah: 43:
Artinya: Dan Dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf untuk mengerjakan sholat, atau kewajiban mendirikan
sholat.
- Firman Alloh dalam surat al an’am:151
Artinya:
Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah melainkan
dengan sesuatu (sebab)yang benar
Dalam ayat ini terkandung
suatu larangan tentang perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan
tanpa hak, maka membunuh itu hukumnya haram.
2.
Syarat-syarat Mahkum Fih
Para
ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan
hukum), yaitu :
a. Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang
akan dilakukan, sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untuk
melaksanakan sebelum dia tau persis.
Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat
“Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global, maka Rasulullah menjelaskannya
sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku
sholat” begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat, puasa
dan sebagainya.Tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di
ketahui syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang
harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT. Sehingga melaksanakan
berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata.
c.
Perbuatan harus mungkin untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan catatan:
1. Tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau
di tinggalkan berdasarkan jumhur ulama, baik zatnya ataupun kemustahilan itu
dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya adalah
berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa
digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin untuk
dilakukan, seperti menyuruh manusia terbang tanpa sayap, ataupun untuk
mengangkat gunung.
2. Tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan
untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan
melakukan shalat untuk mengantikan saudaranya, atau menunaikan zakat
mengantikan bapaknya. Dengan kata lain, seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan
yang dilakukan orang lain. Terkecuali dalam hal menasehati dan amar ma’ruf
nahyi munkar.
3. Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang
berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, karena hal
itu berada di luar kendali manusia.
4. Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,
suci dalam masalah sholat.
3.
Al-Masyaqah
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus
bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada
suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh
(halangan) serta pembagiannya.
Masyaqqoh dibagi menjadi dua macam yaitu:
a.
Masyaqah Mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa
menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan
alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak
mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Contohnya, diwajibkannya
adanya sholat ini bukan bermaksud agar badan capek atau bagaimana, akan tetapi
untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengutamakan
menghilangkan kesulitan atau mencari-cari sesuatu yang lebih sulit, dengan
sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif semakin banyak pahalanya. Sangkaan
semacam itu bertentangan dengan hukum syara. Maka bila ada orang sengaja
meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid misalnya, dan
memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat dibenarkan.
b.
Masyaqqah Ghairu Mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan
manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan. Taklif
seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Alloh
tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan
kesusahan, seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun
malam untuk sahur.
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (Al-Baqarah 185)
Apabila dalam suatu amalan
terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah SWT pun memberikan
keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah dalam hukum syara, seperti
dibolehkan manjama dan mengqasar jumlah rakaat dalam shalat
4.
Pembagian Kemampuan Menurut Ulama
Hanafiah
Menurut ulama hanafiyah, kemampuan adalah tertjaganya alat untuk
melakukan sesuatu sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara
untukmelakukan tuntutan tersebut, seerti sehat, adanya air, dan lain
sebagainya. Kemampuan menurut mereka terbagi dalam dua bagian, yaitu : mutlaq
dan sempurna.
a. Mutlaq, merupakan
kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk melaksanakan kewajiban, baik
berupa harta ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti, air mutlaq diperlukan
untuk berwudu, orang yang sudah mampu diwajibkan untuk melaksanakan ibadah
haji. Namun, syarat tersebut tidak harus sesuai daam keadaan wajib, seperti
tidak gugur kewajiban ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi tidak
melaksanakannya sampai hartanya habis.
b. Sempurna, adalah
kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang memudahkan dalam
pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah harta, bukan
dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan kelebihan harta. Oleh
karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta. Karena bila
dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi kesulitan.
5.
Macam-macam Mahkum Fih
Para
ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi hak yang
terdapat dalam perbuatan itu sendiri, dan dari segi keberadaan secara material
dan syara.
a. Dilihat dari segi hak yang
terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan
melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak ini semata-mata hak
Allah. Dalam hal ini ada delapan macam, yaitu:
a. Ibadah mahdhah (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b. Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,
seperti zakat fitrah.
c. Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat yang
dikeluarkan dari bumi.
d. Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti khoroj
(pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti hukuman
bagi orang yang berbuat zina (dera atau rajam), pencurian (potong tangan).
f. Hukuman yang tidak sempurna seperti orang
yang tidak diberi hak waris, karena membunuh pemilik harta tersebut.
g. Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti, kafarat orang yang
melakukan senggama di siang hari pada bulan ramadhan.
h. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima
harta terpendam dan harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti
ganti rugi harta seseorang yang dirusak, seperti hak-hak kepemilikan., dan
pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba. Tetapi hak Allah didalamnya
lebih dominan, seperti hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Dari sisi
kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari sisi
menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak pribadi.
4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih
dominan, seperti masalah qishas. Hak Allah dalam masalah qishas berkaitan
dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang
tidak halal dibunuh. Sedangkan hak hamba adalah menjamin kemaslahatan hak ahli
waris yang terbunuh. Akan tetapi karena dalam pelaksanaan qishas sepenuhnya
diserahkan kepada ahli waris terbunuh dan mereka berhak menggugurkan hukuman
tersebut, maka hak hamba Allah dianggap lebih dominan.
b.
Dari segi keberadaannya secara
materil dan syara, mahkum fih dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Kebutuhan yang secara materil ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang
terkait dengan syara, seperti makan dan minum. Makan dan kinum tidak terkait
dengan hukum syara.
2. Perbuatan yang secara materil ada dan menjadi sebab adanya hukum syara,
seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Yaitu hukum qishas.
3. Perbuatan yang secara materil ada dan baru bernilai syara apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, seperti shalat dan zakat.
B. Mahkum ‘alaih
1.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum
Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut
mukallaf. Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah
orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya
telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103).
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga
mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang teklah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggung jawaban, baik di dunia maupun akhirat.
Jadi, secara singkat kami
simpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.
2.
Syarat Mahkum ‘Alaih
·
Orang tersebut mampu memahami
dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
·
Orang tersebut ahli bagi apa yang
ditaklifkan kepadanya (Koto: 2006: 157-158).
3.
Taklif
- Dasar taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka
yang sudah dianggap mampu unuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama
ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf
adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum
apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
padanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami
taklif dari syar’i. Sebagaimana sabna Nabi Muhammad SAW :
ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن
المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا
ئثه وابى طا لب)
“Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia
bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.”
(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly
ibnu Abi Thalib)
- Syarat-syarat taklif
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf
bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
a. Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam
alqur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain. Kemampuan
untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali dengan akal pikiran, karena
hanya dengan akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau
ditinggalkan. Akan tetapi ada indikasi lain bahwa yang menerangkan seseorang
telah berakal yaitu baligh.
b. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut
ahliyah. Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu
bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Maka anak kecil
yang belum baligh, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan
tuntunan syara. Selain itu, orang yang berada dibawah kemampuannya dalam
masalah harta dianggap tidak mampu bertindak hukum, karena kecakapan bertindak
hukum mereka dalam masalah harta
dianggap hilang.
4.
Ahliyyah
A.
Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah
kecakapan menangani sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan
dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat
yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang
telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari).
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah
adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani
dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang
bersifat menerima hak dari orang lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk
menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan
untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi
melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan
akalnya.
B.
Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqh, aliyyah(kepantasan) itu
ada dua macam, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya,
yaitu :
1.
Ahliyyah Ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang
dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya baik
dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dengan kata
lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi
ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada adalah
aqil, baligh, dan cerdas.
2.
Ahliyyah Al-Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak
yang menjadi haknya menerima hukum, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh
kewajiban. Ia juga dianggap telah berhak menerima harta waris dan ganti rugi
dari barang yang telah dirusak oleh orang lain.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam
menentukan ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang tidak dibatasi umur,
baligh, kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan
sampai meninggal dunia, dan akan hilang apabila seseorang tersebut telah
meninggal. Berdasarkan aliyyah wujud,
anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula untuk
menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola
sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum
mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub
ada 2 bagian:
a. Ahliyyah Al-Wujub an-naqishoh
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan
ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi
belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya,
sebelum ia lahir ke dunia dengan selamatwalaupun untuk sesaat. Dan apabila
telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh
sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
1.
Hak keturunan dari ayahnya
2. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam
kaitannya, bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar
yang akan ia terima, karena jika laki-laki, maka bagiannya lebih besar dari
wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang disisakan itu dikembalikan kepada
ahli waris yang lain.
3.
Wasiat yang ditunjukkan kepadanya
4.
Harta waqaf yang ditunjukkan kepadanya
Para ulama ushul
menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak
yang menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan persetujuan untuk sahnya
akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan wakaf tidak perlu
menyatakan penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang diperuntukan
kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.
b. Ahliyyah Al-Wujub Al-Kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang
telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya
masih kurang seperti orang gila. Dalam status ahliyyah wujud (baik yang
sempurna ataupun tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara, baik bersifat
ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun yang sifatnya tindakan hukum
duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka
melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang
telah berstatus ahliyyah ‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib
mempertanggung jawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya
sendiri, apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengambilan berhak
untuk memerintahkan wali untuk mengeluarkan ganti rugi terhadap harta orang
lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik
rohani, seperti melukai ataupun membunuh, maka tindakan hukum anak kecil yang
memiliki ahliyyah wajib al-wajib belum dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum, karena ia dianggap belum cakap untuk bertindak hukum. Maka hukuman yang
harusnya menerima qishas digantikan dengan membayar diyat. Sedangkan apabila
orang tersebut telah berstatus ahliyyah ‘ada, maka ia bertanggung jawab penuh
untuk menerima hukuman apapun yang ditentukan oleh syara atau pengadilan.
Misalnya ia diwajibkan membayar ganti rugi terhadap harta orang lain yang
dirusak dan ia pun harus menerima qishah.
C.
Halangan Ahliyyah
Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak
hukum dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau
hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Kecakapan bertindak
hukum seseorang bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Awaridh Samawiyyah, yaitu
halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan oleh perbuatan manusia,
seperti : gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan
lupa.
2. Al-Awaridh Al-Muktasabah,
yaitu halangan yang disebabkan oleh manusia, seperti : mabuk, terpaksa, salah,
di bawah pengampunan dan bodoh.
Para ushul fiqh
membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya dalam tiga
bentuk :
·
Halangan yang bisa menyebabkan
kecakapan seseorang bertintak, seperti gila, lupa, dan terpaksa. Sabda Nabi
Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan
hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan
Tabrani).
·
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang
seperti ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi
sifat kecakapannya dalam bertintak hukum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi
dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.
·
Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti
orang yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.
Sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi
beberapa tindakan hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum
syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu
agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan
tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah). Ada yang mampu diatasi
manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat,
tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf. Ada
kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti
puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat
berat seperti perang fi-sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa,
harta dan sebagainya. Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitab
syar’i (tuntutan syara’) maka sudah
dikenakan taklif.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafi’e,
Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Mohammad Hasyim, Kamali.
1996. Prinsip dan Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahhab, Abdul. 1962. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya.
Mba Sist, gag mau koment apa2 nch, cuma kasih saran untuk huruf Al Qurannya gag kelihatan. kalau bisa sih itu aja yg diperbaiki.
BalasHapusTerima kasih untuk masukannya...:)
Hapus