Nama : Casriati
Semester : 2a
TAYAMUM
1.
Pengertian tayamum
Tayamum menurut arti bahasa adalah menyengaja,
sedangkan menurut arti syara’ adalah mengusap debu pada wajah dan kedua tangan dengan
syarat-syarat tertentu.[1]
Tayamum ialah mengusap tanah ke muka dan kedua tangan
sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi,
sebagai rukhsan (keringanan) untuk
orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur), yaitu:
a. Uzur
karena sakit. Kalau ia memakai air, bertambah sakitnya atau lambat
sembuhnya, menurut keterangan dokter atau orang yang telah berpengalaman
tentang penyakit serupa itu.
b.
Karena
dalam perjalanan.
c.
Karena
tidak ada air.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6:
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضٰٓ اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَٓاءَ
اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَٓاٸِطِ اَوْ لٰمَسْتُمْ النِّسَٓاءَ فَلَمْ تَجِدُوْ
مَٓاءً فَتَيَمَّعُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ
اَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ
“Dan apabila
kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus),
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah
itu.”[2]
Pekerjaan tayamum bukan hanya berlaku untuk pengganti
wudhu tapi boleh juga dilakukan untuk yang junub, bila memenuhi kriteria
ketiadaan air dan urgensi terhadap perlunya air untuk kehidupan.
2.
Syarat tayamum
a. Sudah
masuk waktu shalat. Tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum
masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika
itu.
b. Sudah
diusahakan mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk.
Alasannya adalah ayat tersebut di atas. Kita disuruh bertayamum bila tidak
ada air sesudah dicari dan kita yakin tidak ada. Kecuali orang sakit yang tidak
diperbolehkan memakai air, atau ia yakin tidak ada air di sekitar tempat itu,
maka mencari air tidak menjadi syarat baginya.
c.
Dengan
tanah yang cuci dan berdebu.[3]
3.
Fardhu (rukun) tayamum
a. Niat.
Orang yang akan melaksanakan tayamum hendaklah berniat karena hendak
melaksanakan shalat dan sebagainya, bukan semata-mata untuk menghilangkan
hadast saja, sebab sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadast, hanya
diperbolehkan untuk melakukan shalat karena darurat.
b.
Mengusap
muka dengan tanah.
c.
Mengusap
kedua tangan sampai ke siku dengan tanah. Keterangannya ialah ayat di atas.
d.
Menertibkan
rukun-rukun. Artinya mendahulukan muka dari tangan.[4]
4.
Sunat tayamum
a. Membaca bismillah.
b. Mengembus tanah dari dua telapak tangan
supaya tanah yang di atas tangan itu menjadi tipis
c. Membaca dua kalimat syahadat sesudah
selesai tayamum, sebagaimana sesudah selesai berwudhu.[5]
5.
Hal-hal yang membatalkan tayamum
a.
Tiap-tiap hal yang membatalkan wudhu juga
membatalkan tayamum.
b. Ada
air. Mendapatkan air sebelum shalat, batallah tayamum bagi orang yang tayamum
karena ketiadaan air, bukan karena sakit.[6]
6.
Hikmah disyariatkannya tayamum
Diantara hikmah tayamum adalah untuk menyucikan diri
kita dan agar kita bersyukur dengan syariat ini. Sehingga semakin nampak kepada
kita bahwa Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ
حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(Qs. Al Maidah: 6).[7]
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Abdul. Hikmah
Sehat Gerakan Shalat. Jakarta:
PT. Lingkar Pena Kreativa, 2010
Jabir Al-jazairi, Abu Bakr, Minhaj Al-Muslim.
diterjemahkan oleh Drs. Hasanuddin dan Dr. Didin Hafidhuddin. Pedoman Hidup Muslim. Jakarta: PT. Pustaka Lentera Antarnusa, 2003
Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2010
[1] Abdul
Rahman, Hikmah Sehat Gerakan Shalat (Jakarta: PT Lingkar Pena
Kreativa, 2010), Cet. ke-1, h. 21
[2] H.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2010), Cet. ke-47, h. 39
[3] H.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2010), Cet. ke-47, h. 39
[4] Ibid.,
h. 40
[5] Abu Bakr
Jabir Al-Jasa’iri, Minhaj al-Muslim, diterjemahkan oleh Hasanuddin dan Didin
Hafidhuddin dengan judul, Pedoman Hidup
Muslim (Jakarta:
PT Lentera Antarnusa, 2003), h. 59
[6] Abdul
Rahman, Hikmah Sehat Gerakan Shalat (Jakarta: PT Lingkar Pena
Kreativa, 2010), Cet. ke-1, h. 21
[7] Ibid.,
h. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar