Selamat Datang

Minggu, 20 Oktober 2013

Tayamum



Nama               : Casriati

Semester          : 2a
TAYAMUM

1.      Pengertian tayamum
Tayamum menurut arti bahasa adalah menyengaja, sedangkan menurut arti syara’ adalah mengusap debu pada wajah dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu.[1]

Tayamum ialah mengusap tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi, sebagai rukhsan (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur), yaitu:
a.   Uzur karena sakit. Kalau ia memakai air, bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya, menurut keterangan dokter atau orang yang telah berpengalaman tentang penyakit serupa itu.
b.      Karena dalam perjalanan.
c.       Karena tidak ada air.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6:
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضٰٓ اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَٓاءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَٓاٸِطِ اَوْ لٰمَسْتُمْ النِّسَٓاءَ فَلَمْ تَجِدُوْ مَٓاءً فَتَيَمَّعُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ اَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ
Dan apabila kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.”[2]

Pekerjaan tayamum bukan hanya berlaku untuk pengganti wudhu tapi boleh juga dilakukan untuk yang junub, bila memenuhi kriteria ketiadaan air dan urgensi terhadap perlunya air untuk kehidupan.

2.      Syarat tayamum
a.    Sudah masuk waktu shalat. Tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.
b.   Sudah diusahakan mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk. Alasannya adalah ayat tersebut di atas. Kita disuruh bertayamum bila tidak ada air sesudah dicari dan kita yakin tidak ada. Kecuali orang sakit yang tidak diperbolehkan memakai air, atau ia yakin tidak ada air di sekitar tempat itu, maka mencari air tidak menjadi syarat baginya.
c.       Dengan tanah yang cuci dan berdebu.[3]

3.      Fardhu (rukun) tayamum
a.   Niat. Orang yang akan melaksanakan tayamum hendaklah berniat karena hendak melaksanakan shalat dan sebagainya, bukan semata-mata untuk menghilangkan hadast saja, sebab sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadast, hanya diperbolehkan untuk melakukan shalat karena darurat.
b.      Mengusap muka dengan tanah.
c.       Mengusap kedua tangan sampai ke siku dengan tanah. Keterangannya ialah ayat di atas.
d.      Menertibkan rukun-rukun. Artinya mendahulukan muka dari tangan.[4]

4.      Sunat tayamum
a.     Membaca bismillah.
b.    Mengembus tanah dari dua telapak tangan supaya tanah yang di atas tangan itu menjadi tipis
c.  Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai tayamum, sebagaimana sesudah selesai berwudhu.[5]

5.      Hal-hal yang membatalkan tayamum
a.       Tiap-tiap hal yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum.
b.  Ada air. Mendapatkan air sebelum shalat, batallah tayamum bagi orang yang tayamum karena ketiadaan air, bukan karena sakit.[6]

6.      Hikmah disyariatkannya tayamum
Diantara hikmah tayamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syariat ini. Sehingga semakin nampak kepada kita bahwa Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ


“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(Qs. Al Maidah: 6).[7]


DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Abdul. Hikmah Sehat Gerakan Shalat. Jakarta: PT. Lingkar Pena Kreativa, 2010

Jabir Al-jazairi, Abu Bakr, Minhaj Al-Muslim. diterjemahkan oleh Drs. Hasanuddin dan Dr. Didin Hafidhuddin. Pedoman Hidup Muslim. Jakarta: PT. Pustaka Lentera Antarnusa, 2003

Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010

 

[1] Abdul Rahman, Hikmah Sehat Gerakan Shalat (Jakarta: PT Lingkar Pena Kreativa, 2010), Cet. ke-1,  h. 21
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), Cet. ke-47, h. 39
[3] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), Cet. ke-47, h. 39
[4] Ibid., h. 40
[5] Abu Bakr Jabir Al-Jasa’iri, Minhaj al-Muslim, diterjemahkan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin dengan judul, Pedoman Hidup Muslim (Jakarta: PT Lentera Antarnusa, 2003), h. 59
[6] Abdul Rahman, Hikmah Sehat Gerakan Shalat (Jakarta: PT Lingkar Pena Kreativa, 2010), Cet. ke-1, h. 21
[7] Ibid., h. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar